BIOma – Masyarakat Indonesia tiap tanggal 24 September memperingati Hari Tani Nasional. Hari Tani Nasional ini ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui Keppres No. 169/1963 dengan tujuan untuk memuliakan rakyat tani Indonesia. Pada hari ini, Serikat Petani Indonesia (SPI) mengangkat tema “Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria untuk Menegakkan Kedaulatan Pangan dan Memajukan Kesejahteraan Petani dan Rakyat Indonesia”.
Nasib Petani di Masa Lalu
Bertani adalah kehidupan pokok rakyat dan pemerintah memperoleh sumber penerimaannya semata-mata dari pertanian. Penerimaan negara terutama terdiri atas pembayaran innatura dan jasa-jasa tenaga kerja penggarap tanah. Ini berarti bahwa sebagai kawula, petani harus menyisihkan sebagian hasil panen dan waktunya bagi keperluan raja, kerajaan dan atasan. Pembayaran ini sebagai bukti bahwa mereka sebagai kawula (warga negara) dari suatu negara dan dianggap sebagai imbalan untuk perlindungan pemerintah dari serangan musuh atau gangguan keamanan lainnya.
Dilansir dari laman modul pengantar ilmu pertanian karya Edi Kusmiadi bahwa dalam mengerjakan tanah pertaniannya, petani mempergunakan peralatan sederhana berupa pacul, bajak, garu, dan parang yang dibuat masyarakat setempat. Ternak merupakan tenaga pembantu yang paling penting untuk mengolah tanah. Hampir tidak ada keluarga tani yang mengupah buruh tani untuk mengerjakan sawah. Meskipun kecil, hampir setiap keluarga memiliki tanah sawah atau tegalan yang mereka tanami bahan makanan berupa padi, jagung, jagung cantel (shorgum), jewawut, ubi, dan ketela.
Dilansir dari laman KOMPAS.com, beberapa kali Indonesia mengalami kekurangan bahan pangan di masa revolusi dan pasca-kemerdekaan, lalu kembali mengalami kelangkaan beras di tahun 1972/1973. Saat itu terjadi El Nino yang menyebabkan panen padi menjadi gagal. Namun, pemerintah Orde Baru mendorong petani kala itu untuk menyiapkan dan mengelola lahan, memilih dan menanam bibit, memelihara tanaman dan memberi pupuk, menangani hama dan penyakit tanaman, serta memperbaiki mekanisme pascapanen melalui Panca Usaha Tani (PUT) . Melalui PUT ini menyebabkan kinerja pertanian meningkat drastis dan pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras.
Nasib Petani di Masa Sekarang
Dikutip dari laman KOMPAS.com bahwa sejak 1998 Indonesia mengurangi subsidi terhadap sektor pertanian dan membuka keran impor beras. Pada Maret 2021, kebijakan impor beras ini menuai banyak kritik karena dilakukan di tengah stok beras yang cukup dan waktunya dekat dengan panen raya. Kontroversi impor beras semakin gaduh karena Kepala Bulog dan Menteri Pertanian tidak merekomendasikan impor sementara Menteri Perdagangan menyatakan bahwa impor beras perlu dilakukan untuk mengantisipasi gagal panen. Presiden Jokowi pun memutuskan tidak akan melakukan impor beras selama tahun 2021.
Selain itu, jumlah lahan pertanian di masa sekarang ini mengalami penyusutan. Praktik alih fungsi lahan pertanian sangat memprihatinkan. Beberapa alih fungsi yang dilakukan untuk proyek pembangunan jangka panjang seperti pembangunan jalan, pabrik, dan perumahan.
Saat ini pemerintah cenderung mengambil jalan pintas dengan memberi subsidi beras . Kebijakan ini dianggap menjadikan petani dan pertanian hanya sebagai objek dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia, padahal Indonesia merupakan negara yang berkedudukan di wilayah agraris yang seharusnya visi agrarian menjiwai dan menjadi fokus pemerintah dalam mengambil kebijakan.
Indonesia telah menyatakan komitmen dan berperan aktif dalam berbagai program yang terkait dengan ketahanan pangan dan kemiskinan. Adanya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 bahwa Ketahanan Pangan sebagai urusan wajib dalam penyelenggaraan pemerintahan, berpedoman kepada standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan dilaksanakan secara bertahap oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menjadi solusi terhadap ketahanan pangan yang ada di Indonesia.
Reporter : Aqilah Fauziyah MF