Wisata Raja Ampat (Doc. Int)

BIOma – Isu seputar aktivitas tambang nikel di wilayah Raja Ampat mengemuka setelah kampanye bertagar #SaveRajaAmpat yang diinisiasi Greenpeace Indonesia menjadi viral di media sosial. Kampanye ini menyoroti kekhawatiran atas kerusakan lingkungan akibat tambang nikel yang disebut-sebut berada dekat kawasan wisata populer seperti Piaynemo.

Visual berupa foto dan video yang beredar membandingkan keindahan karst Piaynemo dengan kerusakan lahan tambang di Pulau Gag, yang memicu respons emosional dan gelombang kritik dari masyarakat. Dilansir dari Greenpeace Indonesia, kampanye ini merupakan bentuk protes terhadap aktivitas tambang nikel yang menurut mereka terjadi di lima pulau kecil yaitu Gag, Kawe, Manuran, Manyaifun, dan Batang Pele.

Greenpeace menilai, kegiatan ini melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, karena pulau-pulau tersebut dikategorikan sebagai kawasan dengan ekosistem sensitif yang seharusnya bebas dari pertambangan.

Dikutip dari, tempo.co, lebih dari 500 hektar hutan diklaim telah mengalami kerusakan akibat aktivitas tambang dan sedimentasi yang dihasilkan dari kegiatan tersebut mengancam keberlangsungan terumbu karang serta kehidupan bawah laut. Bahkan, dalam video yang dirilis Greenpeace, tampak pembukaan lahan besar-besaran yang diduga merupakan lokasi tambang aktif di Pulau Gag.

Namun, klarifikasi dari pihak lain menyebutkan bahwa informasi dalam kampanye tersebut tidak sepenuhnya akurat. Lokasi tambang berada di Pulau Gag, sekitar 40 kilometer dari Piaynemo dan bukan bagian dari kawasan wisata. Tambang ini juga telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) sejak 2017 dan eksplorasinya dimulai sejak 1998. Pulau Gag sendiri memiliki batuan ultrabasa yang memang mengandung nikel, berbeda dengan batuan karst gamping di Piaynemo yang tidak menyimpan kandungan mineral logam.

Dilansir dari mongabay.co.id, ekspansi tambang di wilayah Raja Ampat mengalami peningkatan dalam empat tahun terakhir, termasuk pembukaan akses jalan dan pembersihan vegetasi di kawasan pulau kecil. Analisis citra satelit menunjukkan bahwa perluasan tambang membawa potensi kerusakan pada ekosistem pesisir yang kaya akan keanekaragaman hayati.

Dikutip dari cnnindonesia.com, menegaskan bahwa Raja Ampat merupakan rumah bagi lebih dari 500 jenis karang dan ribuan spesies ikan. Sedimentasi dari pertambangan berpotensi turunkan kualitas air laut yang berdampak pada kesehatan biota laut endemik seperti penyu sisik dan ikan napoleon.

Dilansir dari detik.com, publik sempat tertipu oleh sejumlah gambar hasil manipulasi digital dan rekayasa kecerdasan buatan (AI) yang menyebar di media sosial. Hal ini menciptakan persepsi keliru bahwa aktivitas tambang terjadi langsung di tengah kawasan wisata.

Dikutip dari kompas.com, terdapat sekitar 80% daratan Raja Ampat telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan hutan lindung oleh pemerintah daerah. Pemkab Raja Ampat menegaskan tidak akan sembarangan mengeluarkan izin tambang, dan tetap berkomitmen menjaga kelestarian lingkungan sebagai fondasi utama pembangunan berkelanjutan.

Sebagai tambahan, Antara News melaporkan bahwa PT. Gag Nikel, perusahaan tambang yang beroperasi di Pulau Gag, telah menjalankan sejumlah program konservasi, termasuk melepasliarkan ribuan tukik penyu sisik sejak 2019.

Masyarakat diimbau untuk tetap kritis dan cermat dalam menyaring informasi. Kampanye pelestarian lingkungan semestinya didasarkan pada data yang akurat, bukan sekadar narasi visual yang menyesatkan. Menjaga Raja Ampat tidak cukup hanya dengan tagar, tetapi juga dengan menjaga integritas informasi dan menyuarakan kebenaran.

Reporter: Saskiah dan Risdayanti

Loading

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *