BIOma – Fenomena penurunan jumlah kupu-kupu dalam beberapa dekade terakhir menjadi perhatian serius di kalangan peneliti dan pemerhati lingkungan. Dalam kurun waktu dua dekade terakhir, populasi kupu-kupu mengalami penurunan yang cukup signifikan, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, jumlahnya berkurang hingga 22% pada periode 2000–2020.
Dilansir dari DetikEdu, Noor Farikhah Haneda selaku salah satu guru besar di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan di Institut Pertanian Bogor (IPB), mengungkapkan bahwa penurunan populasi kupu-kupu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, seperti pencemaran, perubahan iklim, serta menurunnya ketersediaan tanaman pakan dan inang.
Ia menjelaskan bahwa sensitivitas kupu-kupu terhadap kondisi lingkungan sangat bergantung pada spesiesnya. Ada yang sangat rentan terhadap polusi, namun ada pula yang masih mampu bertahan dalam lingkungan yang tercemar.
Dikutip dari ipb.ac.id, penelitian yang dilakukan oleh Noor menunjukkan bahwa perbedaan tingkat polusi antara wilayah perbatasan hutan dan area permukiman memberikan dampak nyata terhadap jumlah dan keragaman kupu-kupu. Banyak spesies tidak mampu beradaptasi dengan penurunan kualitas ruang hidup, sementara sebagian kecil lainnya masih dapat bertahan.
Ia menambahkan bahwa kupu-kupu kerap menjadikan hutan sebagai habitat utama, namun tetap mencari makanan di area terbuka yang masih mendapat cukup sinar matahari, seperti di wilayah permukiman.
Dilansir dari kompas.com, sebagai upaya pelestarian, Prof. Noor menekankan pentingnya menyediakan tanaman berbunga sebagai sumber pakan alami bagi kupu-kupu. Di sisi lain, penyediaan cairan madu sebagai alternatif sementara juga bisa dilakukan seperti yang telah diterapkan di lingkungan Kampus IPB Dramaga.
Namun, untuk solusi jangka panjang, ia menyarankan penanaman berbagai jenis tanaman berbunga yang dapat menyediakan nektar secara berkelanjutan.
Dikutip dari detik.com, ia juga menyoroti tantangan besar yang dihadapi dalam mengintegrasikan pembangunan dan konservasi lingkungan. Pencemaran memang sulit dihindari seiring dengan pertumbuhan pembangunan, namun harus diimbangi dengan penyediaan ruang terbuka hijau yang layak.
Pemerintah telah menetapkan aturan yang mewajibkan proporsi minimal 30% dari luas wilayah kota digunakan untuk ruang terbuka hijau, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dari jumlah tersebut, 20% harus merupakan ruang terbuka hijau publik dan 10% ruang terbuka hijau privat.
Dilansir dari kompas.com, regulasi tersebut diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional serta Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau.
Selain itu, keberadaan hutan kota juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002, yang mewajibkan minimal 10 persen dari luas kota dialokasikan sebagai hutan kota.
Dikutip dari ipb.ac.id, menurut Noor, tantangan terbesar terletak pada pelaksanaan dan pengawasan regulasi tersebut. Pemerintah daerah perlu lebih aktif dalam memastikan bahwa kawasan industri dan urban tidak mengabaikan kewajiban penyediaan ruang terbuka hijau. Ia menegaskan bahwa hal ini penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem, menyediakan habitat dan sumber makanan bagi serangga seperti kupu-kupu, serta melindungi keanekaragaman hayati di tengah derasnya arus pembangunan.
Dilansir dari detik.com, Noor menuturkan bahwa diperlukan kebijakan yang cerdas dan terintegrasi antara pertumbuhan ekonomi dan konservasi lingkungan.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa hanya dengan cara itulah kita bisa menjamin kelangsungan hidup kupu-kupu dan spesies lainnya di masa depan.
Reporter: RM 5