BIOma – Pelecehan seksual kini menjadi sorotan di Indonesia, dengan berbagai kasus yang melibatkan tokoh berpengaruh di lingkungan akademik, kepolisian, keagamaan, maupun medis. Kekerasan seksual yang seharusnya tidak terjadi, kini merambah institusi yang seharusnya aman. Di tengah tuntutan keadilan, muncul pertanyaan besar, seberapa siap negara dan lembaga untuk melindungi korban dan menindak tegas pelaku tanpa pandang bulu?
Kasus pelecehan seksual yang melibatkan tokoh berpengaruh mengguncang publik. Edy Meiyanto selaku dosen UGM, dipecat setelah terbukti melecehkan mahasiswi. Di Jombang, seorang kyai pesantren diduga melecehkan belasan santriwati. Kapolres Ngada, AKBP Fajar, dilaporkan melecehkan tiga anak, dan dokter PPDS UNPAD, Priguna Anugrah, memperkosa anak pasiennya. Kasus-kasus ini mencerminkan kekerasan seksual dalam relasi kuasa, menuntut perlindungan yang lebih kuat bagi korban.
Dikutip dari Tempo.co, Universitas Gadjah Mada (UGM) telah mengambil tindakan tegas terhadap Guru Besar Fakultas Farmasi, Edy Meiyanto, yang terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap belasan mahasiswa. Ia dipecat sebagai dosen setelah dinyatakan melanggar kode etik dan peraturan universitas terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Keputusan ini menunjukkan komitmen UGM dalam menangani kasus kekerasan seksual dan menjaga lingkungan akademik yang aman dan bebas dari tindak asusila.
Di sisi lain, skandal kekerasan seksual yang kedua melibatkan purna Kapolres Ngada, Fajar Widyadharma Lukman. Tidak hanya menyangkut pelecehan terhadap anak di bawah umur, tetapi juga diduga melibatkan perencanaan yang matang, termasuk penggunaan obat penenang untuk melumpuhkan korban. Menanggapi kasus ini, Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Golkar, Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga, menegaskan bahwa Kapolri perlu menerapkan Undang-Undang Kesehatan sebagai tambahan hukuman terhadap Fajar, mengingat unsur penggunaan obat dalam tindak kejahatan tersebut.
Dikutip dari Kompas.com, Mochamad Subchi Azal Tsani, pengasuh pesantren Majma’al Bahrain Hubbul Waton Minal Iman Shiddiqiyyah di Jombang, Jawa Timur, telah divonis hukuman penjara tujuh tahun karena terbukti bersalah melakukan tindak asusila terhadap santriwatinya sendiri. Pengadilan menilai bahwa Tsani memanfaatkan relasi kekuasaan yang dimilikinya untuk melakukan kejahatan tersebut. Vonis ini menunjukkan bahwa hukum telah ditegakkan dalam kasus kekerasan seksual yang sangat memilukan ini.
Dilansir dari detik.com, Seorang penyintas pemerkosaan yang menjadi korban tindakan Priguna Anugerah Pratama, dokter berusia 31 tahun dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), harus menanggung duka yang mendalam. Selain mengalami trauma akibat kekerasan seksual, korban juga kehilangan sang ayah yang sebelumnya sedang menjalani perawatan di rumah sakit dan didampingi olehnya. Kepolisian daerah Jawa Barat telah mengonfirmasi kabar duka tersebut, menambah beban emosional yang harus ditanggung oleh korban.
Deretan kasus ini tidak hanya mencerminkan kegagalan individu, tetapi juga menggambarkan kerentanan sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada korban. Ketika ruang-ruang pendidikan, penegakan hukum, dan layanan kesehatan justru menjadi ladang subur kekerasan seksual, maka yang dipertanyakan bukan hanya moral pelaku, tapi juga keberpihakan kita sebagai masyarakat.
“Ketika mereka yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi predator, maka yang tercabik bukan hanya tubuh korban, tapi juga nurani publik dan harapan atas keadilan.”
Reporter: Andi Dian Astisyah dan Sitti Radiah Husna