
BIOma – Kampus merupakan wadah bagi para cendekiawan untuk melanjutkan pendidikan setelah jenjang SMA. Definisi kampus dalam KBBI adalah daerah lingkungan bangunan utama perguruan tinggi (universitas, akademi) tempat semua kegiatan belajar mengajar dan administrasi berlangsung. Dari definisi tersebut nampak bahwa kampus seharusnya menjadi wadah untuk belajar dan menambah ilmu serta meningkatkan kualitas diri. Namun, apa jadinya jika kampus yang seharusnya diisi oleh orang-orang berkualitas namun didalam kampus juga menjadi tempat yang mengancam diri bagi para korban pelecehan seksual. Akhir-akhir ini, pemberitaan mengenai kekerasan seksual semakin marak diberitakan di media-media, baik cetak maupun elektronik. Pelecehan seksual diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak dapat diterima, baik secara lisan, fisik atau isyarat seksual dan pernyataan-pernyataan yang bersifat menghina atau keterangan seksual yang bersifat membedakan, di mana membuat seseorang merasa terancam, dipermalukan, dibodohi, dilecehkan, dan dilemahkan kondisi keamanannya.
Pada dasarnya, pelaku pelecehan dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan; baik laki-laki terhadap perempuan, perempuan terhadap perempuan, bahkan antar sejenis yaitu laki-laki terhadap laki-laki dan perempuan terhadap perempuan. Bentuknya dapat berupa verbal dan non-verbal, dan dapat dijumpai di mana pun, kapan pun, kepada siapa pun dan oleh siapa pun, tanpa mengenal status atau pangkat. Richmond dan Abbott (1992) menyatakan, bahwa hanya sekitar satu per sepuluh kasus-kasus pelecehan seksual sesama jenis yang diberitakan. Pelecehan seksual sesama jenis biasanya dilakukan oleh pasangan homoseksual, atau seseorang yang mengidap kelainan seksual. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya perempuan sering menjadi korban kekerasan maupun pelecehan seksual oleh laki-laki, sehingga setiap harinya bahkan setiap saat perempuan harus merasa berwaspada terhadap serangan-serangan yang akan menimpanya.
Pada data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan, pada tahun 2019 jumlah pelecehan dan kekerasan seksual sebanyak 431.471 kasus, jumlah ini meningkat 25. 293 kasus dibandigkan tahun 2018 yang berjumlah 406.178 kasus. Penelitian yang dilakukan oleh Endah Triwijati tahun 2019 yang mengkaji mengenai pelecehan seksual dari sudut pandang psikologi mengungkapkan bahwa umumnya, para korban akan tutup mulut yang terkadang hingga waktu yang sangat lama karena alasan-alasan tersebut, dan adanya ketakutan ia akan kian menjadi sasaran pelecehan. Mereka tidak membicarakannya dengan teman ataupun keluarga. Proses penyembuhan akan kian sulit ketika ada penyangkalan dari institusi, ketidak-percayaan, atau mempersalahkan korban.
Tingginya tingkat pelecehan seksual pada perempuan disebabkan oleh beberapa faktor. Tangri, Burt, dan Johnson (Nurhayaty & Sulastry, 2021) menjelaskan terdapat dua faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual, yakni faktor natural atau biologis, dan faktor sosial budaya. (1) Faktor Natural atau Biologis memiliki asumsi bahwa laki-laki memiliki dorongan seksual yang lebih besar dibandingkan perempuan, sehingga laki-laki yang cenderung melakukan tindakan terhadap perempuan. Pada faktor natural dan biologis ini diasumsikan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki rasa ketertarikan yang besar satu sama lain. Oleh karena itu reaksi yang di harapkan muncul pada perempuan adalah perasaan tersanjung atau minimal tidak merasa terganggu oleh tindakan tersebut. Namun pada kenyataanya, korban pelecehan seksual merasa terganggu dan terhina karena dilecehkan oleh pelaku pelecehan seksual. (2) Faktor Sosial Budaya; pada faktor ini dijelaskan bahwa pelecehan seksual adalah manifestasi dari sistem patriarki dimana laki-laki dianggap lebih berkuasa dan dimana keyakinan dalam masyarakat mendukung anggapan tersebut sehingga anggapan tersebut telah tertanam dalam pikiran masyarakat. Selama ini masyarakat cenderung memberikan reward kepada laki-laki untuk perilaku seksual yang bersifat agresif dan mendominasi, sedangkan perempuan diharapkan untuk bertindak lebih pasif dan pasrah. Akibat dari reward tersebut, masing-masing jenis kelamin baik laki-laki mapun perempuan diharapkan untuk berperilaku sesuai dengan peran yang telah di tentukan tersebut.
Triwijati (2019) mengemukakan bahwa banyak faktor yang mendasari mengapa korban kesulitan untuk dapat mengidentifikasi dan menerima pelecehan seksual yang ia alami, yaitu: kebingungan (tidak tahu bagaimana harus menggam-barkan pada dirinya sendiri tentang apa yang terjadi), rasa malu, sikap mempersalahkan korban oleh orang lain, dan memposisikan korban menjadi “yang bersalah” seperti atribusi cara berpakaian, gaya hidup dan kehidupan pribadi menjadi mengemuka, alih-alih pengusutan terhadap peristiwa pelecehan; rasa bersalah pada apa yang terjadi, mempersalahkan diri sendiri, rasa dipermalukan (tidak bisa menerima ide bahwa ia adalah korban, atau perasaan bahwa seharusnya ia dapat menghentikan pelecehan itu), penyangkalan (tidak mau percaya bahwa hal itu sungguh terjadi), defence mechanism (mengatakan pada diri sendiri bahwa “itu bukan persoalan besar,” “saya terlalu sensitif saja,” atau “saya adalah pemalu”). Si korban bersikap demikian karena orang lain mengatakan dia harus begitu, takut (terhadap balas dendam pelaku), takut diasingkan atau tidak disukai lingkungan, takut si pelaku menghadapi masalah ketika apa yang ia kehendaki adalah semata-mata perilaku itu dihentikan atau merasa bertanggung jawab atas akibat dari perilaku pelaku, adaptasi terhadap perlakuan ini karena mungkin sudah terjadi berulang dan lama, sehingga ia merasa tidak ada apapun yang dapat dilakukan atau ia adalah seorang yang belajar dari hidupnya/orang lain bahwa “aku memang akan mengalami hal ini” dan “harus dapat mengatasinya” dengan diam, mati rasa (ketika korban ingin me-mutuskan dirinya secara emosional dengan pengalaman tersebut, ia mungkin juga akan menghindari orang atau tempat yang mengingatkannya akan peristiwa yang sangat menyakitkan tersebut), terpicu kembali (ingatan yang muncul ketika membicarakannya lagi memberikan beban yang terlalu berat atau kecemasan/rasa sakit), tidak diakui (merasa tidak ada orang yang percaya atas laporan-nya), fitnahan (motif atau karakter korban mungkin akan diserang oleh pelaku atau teman-temannya dengan mengatakan hal-hal yang mendiskreditkan korban), pelecehan sesama jenis kelamin (khawatir akan dipertanyakan orientasi seksnya), maskulinitas (bagi laki-laki sebagai korban, mungkin takut orang akan mempertanya -kan maskulinitasnya atau tidak menikmati perhatian seksual yang diberikan, dan orientasi seksual.
Melihat faktor diatas, dimana perempuan yang menjadi korban sering sekali bungkam dan tidak mampu menyuarakan pelecehan seksaul yang dialami, perlu digaris bawahi terjadinya kekerasan seksual tersebut karena adanya peluang dan dorongan dari pihak laki-laki sehingga memunculkan niat untuk melakukan aksi tidak terpujinya. Menurut data WHO 2015 (Kinasih, 2017), ditemukan adanya seorang perempuan dilecehkan, diperkosa dan dipukuli setiap hari di seluruh dunia. Paling tidak setengah dari penduduk dunia berjenis kelamin perempuan telah mengalami kekerasan secara fisik. Bahkan, pelecehan ini telah terjadi di tempat-tempat umum dan tanpa disadari (oleh korban pelecehan). menurut pantauan yang dilakukan oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dalam kurun waktu 13 tahun terakhir (1998 – 2011) telah tercatat sebanyak 22.284 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di ruang umum dan menjadi urutan kedua dari seluruh kasus kekerasan seksual yang berjumlah 93.960 kasus (Hidayatullah, 2012). Sayang nya pelecehan seksual juga akhir akhir ini semakin marak dilakukan oleh oknum kampus. Seperti pada kasus yang abru baru ini terjadi di UNM.
Dikutip dari berita suarasulsel.id, Mantan Satpam Kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) berinisial A yang tertangkap basah melakukan pelecehan seksual. Merekam mahasiswi peserta PPM Program Kampus Merdeka saat mandi di area toilet menggunakan ponsel, akhirnya ditetapkan tersangka. “Sudah (tersangka) saat ini sedang dilengkapi berkasnya untuk dikirim ke kejaksaan,” kata Kepala Seksi Humas Polrestabes Makassar AKP Lando saat dikonfirmasi wartawan perihal perkembangan kasus tersebut, di Makassar, Senin 13 Desember 2021. Ia mengatakan, penetapan status bagi tersangka setelah tim penyidik melaksanakan gelar perkara serta ditemukan adanya tindak pidana. Bersangkutan dikenakan Pasal 35 juncto Pasal 9 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun penjara. Selain menyita barang bukti ponsel milik pelaku yang dipakai merekam korban saat mandi, polisi juga telah memeriksa dua saksi, yakni korban dan rekannya pada kasus tersebut.
Dari berbagai kasus dan informasi diatas tindak pelecehan seksual dapat terjadi di mana saja dan menimpa siapa saja, sayangnya perempuan selalu menjadi korban kasus tersebut dan tak terkecuali dikampus. Sehingga sudah seharusnya menjadi pembicaraan serius di dalam birokrasi kampus dan pemerintah terkait. Korban pelecehan akan mengalami trauma apabila tidak mendapatkan pendampingan dan penanganan dengan baik oleh pihak yang benar seperti keluarga atau bahkan psikolog. Pandangan bahwa perempuan harus mampu menjaga diri jika tidak dibarengi dengan kesadaran laki-laki untuk mampu menahan dirinya dari melampiaskan nafsunya juga tidak akan bisa mengurangi tindak pelecehan seksual yang terjadi.
Oleh karena ini saya memnilai bahwa sudah seharusnya birokrasi kampus menindak tegas oknum yang sudah melakukan aksi pelecehan skesual apalagi dalam lingkup kampus khususnya di UNM. Birokrasi dalam menerima pegawai non PNS harus melakukan seleksi yang selektif agar orang orang yang diterima bekerja di dalam kampus merupakan orang orang yang benar-benar memiliki kemampuan dan etika yang sesuai dengan citra kampus. Di lain sisi, mahasiswa juga harus berani dalam menindak serta melaporkan oknum predator kampus yang diketahui melakukan tindakan tidak terpuji tersebut.
Muh. Fajrul Syawal, Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Makassar