Aksi Demonstrasi Masa Reformasi 1998 (Doc. Int)

BIOma – Bulan Mei menjadi bulan yang sarat makna dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Di balik semarak peringatan Hari Buruh dan Hari Kebangkitan Nasional, bulan ini juga menyimpan jejak-jejak kelam perjuangan rakyat melawan ketidakadilan dan penindasan. Tanggal 21 Mei 1998 menandai era Reformasi di Indonesia setelah mundurnya Soeharto dari kursi presiden akibat tekanan massa. Namun, di balik euforia perubahan tersebut, terukir sejarah reformasi yang diwarnai darah dan air mata.

Kontras.org mencatat bahwa peristiwa-peristiwa, seperti Tragedi Trisakti (12 Mei 1998) yang merenggut nyawa empat mahasiswa, kerusuhan 13–15 Mei 1998, peristiwa Simpang KKA (Aceh, 3 Mei 1999) yang menyebabkan puluhan korban jiwa dan luka-luka, serta pembunuhan aktivis buruh Marsinah (8 Mei 1993) menjadi luka mendalam peninggalan rezim orde baru, yang hingga kini belum sepenuhnya pulih karena belum diusut tuntas oleh negara

Di kutip dari Kompas.com, Kerusuhan 13–15 Mei 1998 dipicu oleh krisis finansial Asia yang mengakibatkan kebangkrutan banyak perusahaan, pemutusan hubungan kerja jutaan orang, dan penghentian berbagai proyek besar. Banyak pihak berpendapat bahwa narasi reformasi saat ini seringkali diputarbalikkan menjadi sekadar kisah kemenangan demokrasi, tanpa adanya pengakuan terhadap luka sejarah yang masih membekas.

Sayangnya, realitas menunjukkan hal yang berbeda. Para pejabat era reformasi justru bertransformasi menjadi elit penguasa yang melestarikan warisan Orde Baru. Pemerintah pasca-reformasi bahkan memperkuat pola kekuasaan lama yang otoriter, represif, dan anti-kritik. Lebih jauh lagi, enam tuntutan reformasi, termasuk supremasi sipil atas militer, terasa dikhianati.

Sejumlah tokoh era reformasi yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat kini bebas dan menduduki posisi penting dalam lingkaran kekuasaan, sementara wacana “Pahlawan Soeharto” melukai keadilan dan menghapus ingatan kolektif akan kekejaman orde baru.

Isu militerisme menjadi perhatian utama. Reformasi ’98 dahulu menghapus dwifungsi ABRI dan memisahkan TNI dari ranah sipil. Namun, 27 tahun kemudian, gejala militeristik kembali menguat. Dikutip dari Tempo.co mencatat bahwa TNI mulai menduduki ruang sipil dan terlibat dalam proyek-proyek nasional, seperti program Food Estate yang mengakibatkan penggusuran rakyat dari tanah mereka. Ketika aparat memiliki peran ganda, revisi UU TNI tahun 2024-2025 justru membuka peluang bagi munculnya dwifungsi baru.

Protes mahasiswa dan masyarakat sipil yang menolak pembahasan tertutup RUU TNI ironisnya ditanggapi dengan kekerasan, sebuah kontradiksi besar bagi negara yang mengaku demokratis.

Memasuki peringatan ke-27 Reformasi, muncul banyak seruan untuk menghentikan selebrasi yang bersifat seremonial. Demokrasi dan keadilan masih terancam selama pelanggaran berat HAM di masa lalu belum terselesaikan, sementara kebebasan sipil diuji dengan kebijakan represif yang muncul belakangan ini.

Masyarakat berharap peringatan ini dapat memicu perlawanan nalar agar republik yang kita bangun benar-benar adil, demokratis, dan menghormati hak asasi setiap warga negara.

Reporter: Putri Nanda Utami

Loading

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *